Thursday, 7 May 2015

Selamat Jalan, Kakek!

            Risa lahir dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya hanya buruh pabrik tekstil tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi. Semasa kecilnya, Risa berinisiatif untuk membuat prakarya dari sampah anorganik miliknya kemudian dijual ke teman-teman sekolahnya yang lebih berada. Dengan aliran keuangan yang minim, keluarga kecil itu mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan dan minum, listrik, buku-buku sekolah Risa, pakaian, dan rumah. Risa bahkan bisa kuliah tanpa membebani kedua orang tuanya berkat beasiswa yang diterimanya.
            Risa bahkan berhasil membanggakan orang tuanya. Lomba-lomba dan kompetisi-kompetisi yang diikutinya waktu masa sekolah tidak sia-sia. Buktinya, Risa akhirnya berhasil mendapat beasiswa penuh untuk kuliahnya. Sekarang Risa bekerja sebagai designer interior  untuk sebuah perusahaan ternama. Ia bisa pergi ke salon bareng teman-temannya, beli pulsa untuk handphone mahalnya, membelikan rumah baru di Jakarta untuk kedua orang tuanya, dan beli kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak pernah ia impikan sejak kecil. Sekarang Risa sudah kaya, sudah lebih dari cukup, sudah lebih dari sejahtera.
            Hari Minggu selalu jadi hari sakral buat Risa. Setelah jadwal yang sangat padat dari Senin sampai Sabtu, mengurus klien dan kerjaan juga meluangkan waktu untuk pacar dan keluarga, Risa jadi jarang punya waktu untuk dirinya sendiri. Hari Minggu adalah satu-satunya hari di mana ia bisa duduk santai di teras rumah sambil menyesap secangkir kopi pahit sambil menonton aktivitas rutin sore hari; angin sepoi-sepoi yang mencubit pipi, semak-semak perdu yang melambai-lambai pada Risa karena dicumbu angin, Pak Supri yang rajin membersihkan jalanan beraspal dari sampah, anjing tetangga yang ribut menggonggong seolah menyemangati duel kucing gendut abu-abu dengan kucing berbulu oranye kotor.
            Risa menyesap kopinya, dan dari sudut matanya dilihat seorang kakek berwajah oriental dengan dalaman singlet buluk dan sarung ungu keluar dari rumahnya. “Tumben si Engko Leoh keluar rumah.” gumam Risa. Setelah lama dipandangi lelaki uzur itu, Risa jadi senyam-senyum sendiri. Ia teringat Mbah Kamil, lelaki tua di kampungnya dulu yang terkenal ramah dan sayang anak kecil. Risa yang paling disayanginya. Di benak Risa kini, teringat lagi bagaimana lelaki tua itu suka mengelus-elus jenggotnya yang putih sambil mendengarkan cerita Risa yang menggebu-gebu. Badannya kurus, tulang iganya tercetak jelas dari balik kulitnya yang gosong kena sinar matahari, tapi cara berjalannya tegap, seolah badai topan sekalipun tak mampu merobohkan beliau.
            “Risa kalau udah gede mau jadi apa?” tanya Mbah Kamil suatu hari. “Jadi arsitek! Supaya bisa bikinin Mbah rumah gede, bikinin bapak dan ibu rumah bagus, bisa bikinin Risa sendiri rumah mewah!” jawab Risa kecil polos. Mbah Kamil menyambut jawaban itu dengan senyum. “Apapun cita-cita Risa, pasti Mbah Kamil doakan! Pasti Risa bisa, Risa, kan, anak pintar. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, ya!” kata Mbah Kamil. Risa mengangguk-angguk ceria lalu masuk ke rumah Mbah Kamil yang hanya terbuat dari bambu dengan lantai tanah. Di sana, Risa biasanya akan diberi cemilan dan sirop dingin lalu ngobrol dengan Mbah Kamil yang ditinggal istrinya sewaktu muda karena komplikasi kehamilan. Maklum, di desa kecil seperti itu, tidak ada dokter. Boro-boro ada dokter, rumah bidan terdekat saja jaraknya lima kilometer.
            Tiba-tiba, terdengar suara derum motor yang membuyarkan lamunan Risa. Engko Leoh yang sedang duduk-duduk di kursi bambu miliknya sambil mengisap rokok dan minum kopi pahit langsung mengernyit melihat motor berukuran besar yang suaranya, menurutnya, sangat mengganggu. Risa tersenyum ketika si pengendara melepaskan helmnya dan melambaikan tangannya sambil tersenyum ramah. “Hai, Dimas!”
            “Belum makan, kan? Aku ajak ke restoran Korea yang baru itu, mau nggak?” tanya lelaki itu sambil mengecup pipi Risa. “Boleh, boleh.” jawab Risa. “Ibu sama ayahmu udah makan belum?” tanya lelaki itu. “Mereka lagi ke rumah adeknya ibuku sampe besok.” kata Risa, mengunci pintu dan pagar lalu bersiap-siap berangkat.
            Melalui kaca helm motor, Risa melihat jalanan yang masih basah karena direndam hujam tadi sore. Bau tanah yang lembap dan segar mencuri tempat di hidung Risa yang menyembunyikan senyumnya dibalik masker biru muda. Karena kenangan tentang masa kecilnya kembali lagi di benaknya tadi sore, kini Risa jadi ingat lagi setiap kali hujan turun di kampungnya waktu ia kecil.
            Waktu hujan adalah waktu yang paling membosankan di seluruh dunia buat Risa kecil, dan teman-temannya. Mereka harus mendekam di rumah mereka tanpa hiburan sama sekali. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan hanya melambai-lambaikan tangan pada satu sama lain dari teras rumah. Itu pun juga pasti langsung diseret masuk rumah oleh orang tua kalau berdiri di teras selama lebih dari lima menit. Pokoknya, orang tua mereka melarang mereka keluar rumah sebelum hujan benar-benar reda. Takut sakit.
            Tapi, memang dasar anak-anak. Mereka bandel dan sekali itu tidak menuruti perintah orang tua mereka. Waktu itu hujan ringan mengguyur kampung mereka selama dua hari berturut-turut. Anak-anak yang, sangat, bosan, akhirnya diam-diam keluar dari “kurungan” mereka dan duduk melingkar di tengah-tengah perkampungan. Mereka menggumamkan kata-kata yang tidak ada artinya sama sekali. Orang-orang tuan yang cemas melihat anak mereka hujan-hujanan memanggil-manggil nama anaknya dan ngomel-ngomel menyuruh mereka masuk rumah. Tapi Mbah Kamil tersenyum bijak dan menenangkan para orang tua. Beliau mengambil pengeras suara yang dipinjamkan Kepala Desa, “Bapak Ibu ndak perlu khawatir, mereka sedang melakukan ritual pengusir hujan.” kata beliau, tahu bahwa anak-anak bosan di rumah terus. Risa kecil berhenti bergumam dan tersenyum pada Mbah Kamil. Beliau balas tersenyum.
            Setelah bergumam-gumam seolah bicara pada roh halus, mereka berdiri, di mulai dari biangnya, Udin, teman Risa yang paling badung di sekolah. Ia mulai menari-nari mengilingi mereka yang masih duduk. Akhirnya, semuanya ikut berdiri lalu menari-nari membentuk lingkaran sambil bernyanyi-nyanyi dengan nada yang tidak teratur, belum lagi yang suaranya sumbang. Kacau. Tapi jadi lucu, karena ada mereka yang iseng, menjahili temannya yang lain, atau pura-pura kesurupan karena ada roh yang ingin bicara pada mereka. Risa ikut-ikutan menari sambil tertawa-tawa. Ada juga yang berguling-guling di tanah basah, berpura-pura jadi persembahan secara paksa namun si persembahan menolak habis-habisan.
            Benar saja, keesokan paginya, hujan berhenti. Anak-anak kampung itu bersorak sorai ketika bangun dan berkata satu sama lain kalau ritual mereka berhasil. “Lain kali kalau hujan kita melakukan ritual lagi!” ujar Udin yang tahu kalau mereka akan bosan selama hujan berlangsung. “Eits, tidak bisa!” ujar Mbah Kamil tiba-tiba. “Kenapa nggak bisa, Mbah?” tanya Siska, salah seorang dari mereka. “Karena dewa hujan hanya mau diberi persembahan kalau sedang hujan yang lamaaa sekali, lebih dari dua hari.” kata Mbah Kamil yang juga tidak ingin anak-anak sakit. Tapi sekali itu, tidak ada yang terkena penyakit.
            Risa dan Dimas segera memesan makanan. Di luar restoran dalam mall tersebut, ada sebuah toko elektronik dengan televisi berlayar besar dipajang di etalase toko. Televisi itu menampilkan sebuah berita mengenai dampak yang diberikan letusan Gunung Merapi. Tiba-tiba Risa tertegun. “Itu kampungku!”
            ***
            “Kamu yakin mau ke sana?” tanya Dimas cemas. “Iya, Dim. Aku harus ke sana. Itu kampung halamanku, dan aku nggak bisa tinggal diam surga kecilku dimakan abu begitu. Setidaknya aku harus menjenguk kampungku.” kata Risa. Dimas mengerti lalu mengecup kening Risa, mengharapkan keselamatan buat dirinya.
            Risa naik kereta menuju kampung halamannya. Rasa penasaran, cemas, dan gembira karena akan bertemu dunia masa kecilnya sekali lagi bercampur jadi satu, bergolak dalam adrenalin Risa. Ketika sampai di sana, Risa disambut oleh beberapa petugas berseragam yang mengaku sebagai sukarelawan. Mereka senang Risa mau bergabung dan ia langsung berangkat ke kampung halamannya bersama dengan sukarelawan lain yang juga hendak ke sana dengan mobil jip hijau.
            Risa tiba di kampung halamannya tak lama kemudian. Rasa sesak menyelimuti dadanya. Teringat kembali semua cerita dan kenangan masa kecilnya, sawah dan ladang luas, jalan tanah, pasar, tempat bermain, gubuk-gubuk. Sekarang semuanya dilalap abu dan debu, yang ada hanya materi abu-abu keputih-putihan yang mewarnai kampungnya yang dulu terasa begitu cerah. Beberapa orang duduk dekat rumah mereka yang sudah hancur.
            Risa menghampiri seorang lelaki yang sedang menghibur seorang gadis. “Permisi, pak. Maaf mengganggu, saya Risa,” ujar Risa, berharap bapak itu mengenali dirinya karena dilihatnya, bapak itu tidak terlalu jauh usianya dengannya. “Risa? Risa Cahya Anggraeni?” tanya bapak itu. Risa mengangguk ceria. “Ya Tuhan, Risa? Ini aku, Udin! Udin Joko! Masih ingat?” tanya bapak itu. Risa mengangguk gembira, sebuah bendungan langsung tercipta di pelupuk matanya.
“Gimana keadaan kampung setelah kita lulus?” tanya Risa sambil duduk di sebelah Udin. “Gimana ya, biasa aja. Nggak terlalu berubah. Orang-orang pintar seperti kamu dan Awan dan yang lain langsung pergi. Tinggal kita yang tersisa di sini ngurusin sawah bapak.” kata Udin. “Gimana guru-guru di sekolah kita?” tanya Risa. “Sebelum bencana ini, mereka baik-baik aja. Tapi sekarang aku nggak tahu, Ris.” kata Udin dengan raut wajah sedih.
Tiba-tiba dari sudut matanya, Risa melihat sesosok tubuh kurus yang selalu diingatnya. Pria tua itu duduk di reruntuhan masjid dan seorang relawan tampak sedang membereskan kotak obat di sebelah bapak itu. “Sebentar ya, Din. Kamu ke sana dulu aja, ke tempat relawan itu, mereka akan bantu kamu.” ujar Risa lalu pergi menuju lelaki tua itu.
“Mbah Kamil? Ini Risa.” ujar Risa, takut Mbah Kamil melupakan dirinya. Mbah Kamil terkekeh, mempertontonkan giginya yang hilang semua, tanda bahwa beliau masih ingat dengan Risa, anak kesayangannya. Setitik air mata langsung jatuh seiring dengan hati Risa yang terasa makin sesak. Ia mencium tangan Mbah Kamil lalu duduk di sebelah Mbah Kamil yang hanya diam memandangi Risa.
“Mbah, Risa kangen sekali dengan kampung halaman Risa. Risa sendiri nggak nyangka akan melihat kampung halaman Risa sekali lagi. Sayang, dengan keadaan yang seperti ini.” kata Risa. “Ya, mbah juga kangen dengan celoteh anak-anak, terutama Risa. Sekarang sudah ada televisi. Sudah tidak ada lagi tarian pengusir hujan.” kata Mbah Kamil sambil terkekeh. Pipi Risa memerah.
“Mbah udah seperti orang tua Risa sendiri.” kata Risa. “Ya. Dan Mbah bangga dengan Risa yang sudah berhasil ke Jakarta, berhasil dapat beasiswa. Mbah dengar di acara televisi, kamu masuk nominasi apa terbaik, Mbah ndak tahu bahasa Inggris.” kata Mbah Kamil sambil terkekeh. Risa mengulum senyum. “Iya, Mbah.” ujarnya.
“Risa, pesan Mbah terakhir, tolong jaga kampung halaman kita. Mbah ndak perlu ngasih pesan supaya Risa dan generasi Risa bisa memajukan Endonesia, pasti bisa.” kata Mbah Kamil disambut tawa Risa. Ia memeluk sosok yang perkasa itu, seorang tua yang perhatian, menjadi kakek, guru, sekaligus sahabat Risa kecil.
“Mbah tinggal dulu ya.” kata Mbah Kamil sambil berdiri. Risa ikut berdiri. “Mbah, Risa sayang dengan Mbah, terutama karena Mbah sudah jadi segalanya untuk Risa.” kata Risa sambil mencium tangan Mbah Kamil sekali lagi. Mbah Kamil tersenyum dan mengacak-acak rambut Risa seolah Risa masih berumur sepuluh tahun.
Mereka berjalan bersama menuju tempat para relawan membereskan obat mereka dan beberapa lembar kertas serta buku-buku catatan. Mbah Kamil tersenyum dan Risa balas tersenyum. Mbah Kamil berbelok, menurut pandangan Risa, beliau hendak pergi mengambil minum dari seorang relawan. Jadi, Risa kembali pada Udin yang sudah selesai ditanya-tanyai oleh seorang petugas. Tampak ia sedang menekuk muka.
“Kenapa, Din?” tanya Risa. “Keluargaku belum ketemu.” ujarnya. “Mbah Kamil gimana setelah aku pergi?” tanya Risa penasaran. “Mbah Kamil? Udah meninggal sejak kamu pergi!” jawab Udin sekenanya.

Sekarang giliran Risa yang menekuk muka.

No comments:

Post a Comment