Risa lahir dari keluarga sederhana.
Kedua orang tuanya hanya buruh pabrik tekstil tanpa latar belakang pendidikan
yang tinggi. Semasa kecilnya, Risa berinisiatif untuk membuat prakarya dari
sampah anorganik miliknya kemudian dijual ke teman-teman sekolahnya yang lebih
berada. Dengan aliran keuangan yang minim, keluarga kecil itu mampu memenuhi
kebutuhan sehari-hari seperti makan dan minum, listrik, buku-buku sekolah Risa,
pakaian, dan rumah. Risa bahkan bisa kuliah tanpa membebani kedua orang tuanya
berkat beasiswa yang diterimanya.
Risa bahkan berhasil membanggakan
orang tuanya. Lomba-lomba dan kompetisi-kompetisi yang diikutinya waktu masa
sekolah tidak sia-sia. Buktinya, Risa akhirnya berhasil mendapat beasiswa penuh
untuk kuliahnya. Sekarang Risa bekerja sebagai designer interior untuk
sebuah perusahaan ternama. Ia bisa pergi ke salon bareng teman-temannya, beli
pulsa untuk handphone mahalnya,
membelikan rumah baru di Jakarta untuk kedua orang tuanya, dan beli
kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak pernah ia impikan sejak kecil. Sekarang
Risa sudah kaya, sudah lebih dari cukup, sudah lebih dari sejahtera.
Hari
Minggu selalu jadi hari sakral buat Risa. Setelah jadwal yang sangat padat dari
Senin sampai Sabtu, mengurus klien dan kerjaan juga meluangkan waktu untuk
pacar dan keluarga, Risa jadi jarang punya waktu untuk dirinya sendiri. Hari
Minggu adalah satu-satunya hari di mana ia bisa duduk santai di teras rumah
sambil menyesap secangkir kopi pahit sambil menonton aktivitas rutin sore hari;
angin sepoi-sepoi yang mencubit pipi, semak-semak perdu yang melambai-lambai
pada Risa karena dicumbu angin, Pak Supri yang rajin membersihkan jalanan
beraspal dari sampah, anjing tetangga yang ribut menggonggong seolah
menyemangati duel kucing gendut abu-abu dengan kucing berbulu oranye kotor.
Risa menyesap kopinya, dan dari
sudut matanya dilihat seorang kakek berwajah oriental dengan dalaman singlet
buluk dan sarung ungu keluar dari rumahnya. “Tumben si Engko Leoh keluar
rumah.” gumam Risa. Setelah lama dipandangi lelaki uzur itu, Risa jadi
senyam-senyum sendiri. Ia teringat Mbah Kamil, lelaki tua di kampungnya dulu
yang terkenal ramah dan sayang anak kecil. Risa yang paling disayanginya. Di
benak Risa kini, teringat lagi bagaimana lelaki tua itu suka mengelus-elus
jenggotnya yang putih sambil mendengarkan cerita Risa yang menggebu-gebu.
Badannya kurus, tulang iganya tercetak jelas dari balik kulitnya yang gosong
kena sinar matahari, tapi cara berjalannya tegap, seolah badai topan sekalipun
tak mampu merobohkan beliau.
“Risa kalau udah gede mau jadi apa?”
tanya Mbah Kamil suatu hari. “Jadi arsitek! Supaya bisa bikinin Mbah rumah
gede, bikinin bapak dan ibu rumah bagus, bisa bikinin Risa sendiri rumah
mewah!” jawab Risa kecil polos. Mbah Kamil menyambut jawaban itu dengan senyum.
“Apapun cita-cita Risa, pasti Mbah Kamil doakan! Pasti Risa bisa, Risa, kan,
anak pintar. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, ya!” kata Mbah Kamil.
Risa mengangguk-angguk ceria lalu masuk ke rumah Mbah Kamil yang hanya terbuat
dari bambu dengan lantai tanah. Di sana, Risa biasanya akan diberi cemilan dan
sirop dingin lalu ngobrol dengan Mbah Kamil yang ditinggal istrinya sewaktu
muda karena komplikasi kehamilan. Maklum, di desa kecil seperti itu, tidak ada
dokter. Boro-boro ada dokter, rumah bidan terdekat saja jaraknya lima
kilometer.
Tiba-tiba, terdengar suara derum
motor yang membuyarkan lamunan Risa. Engko Leoh yang sedang duduk-duduk di
kursi bambu miliknya sambil mengisap rokok dan minum kopi pahit langsung
mengernyit melihat motor berukuran besar yang suaranya, menurutnya, sangat
mengganggu. Risa tersenyum ketika si pengendara melepaskan helmnya dan
melambaikan tangannya sambil tersenyum ramah. “Hai, Dimas!”
“Belum makan, kan? Aku ajak ke
restoran Korea yang baru itu, mau nggak?” tanya lelaki itu sambil mengecup pipi
Risa. “Boleh, boleh.” jawab Risa. “Ibu sama ayahmu udah makan belum?” tanya
lelaki itu. “Mereka lagi ke rumah adeknya ibuku sampe besok.” kata Risa,
mengunci pintu dan pagar lalu bersiap-siap berangkat.
Melalui kaca helm motor, Risa
melihat jalanan yang masih basah karena direndam hujam tadi sore. Bau tanah
yang lembap dan segar mencuri tempat di hidung Risa yang menyembunyikan
senyumnya dibalik masker biru muda. Karena kenangan tentang masa kecilnya kembali
lagi di benaknya tadi sore, kini Risa jadi ingat lagi setiap kali hujan turun
di kampungnya waktu ia kecil.
Waktu hujan adalah waktu yang paling
membosankan di seluruh dunia buat Risa kecil, dan teman-temannya. Mereka harus
mendekam di rumah mereka tanpa hiburan sama sekali. Satu-satunya yang bisa
mereka lakukan hanya melambai-lambaikan tangan pada satu sama lain dari teras
rumah. Itu pun juga pasti langsung diseret masuk rumah oleh orang tua kalau
berdiri di teras selama lebih dari lima menit. Pokoknya, orang tua mereka
melarang mereka keluar rumah sebelum hujan benar-benar reda. Takut sakit.
Tapi, memang dasar anak-anak. Mereka
bandel dan sekali itu tidak menuruti perintah orang tua mereka. Waktu itu hujan
ringan mengguyur kampung mereka selama dua hari berturut-turut. Anak-anak yang,
sangat, bosan, akhirnya diam-diam keluar dari “kurungan” mereka dan duduk
melingkar di tengah-tengah perkampungan. Mereka menggumamkan kata-kata yang
tidak ada artinya sama sekali. Orang-orang tuan yang cemas melihat anak mereka
hujan-hujanan memanggil-manggil nama anaknya dan ngomel-ngomel menyuruh mereka
masuk rumah. Tapi Mbah Kamil tersenyum bijak dan menenangkan para orang tua.
Beliau mengambil pengeras suara yang dipinjamkan Kepala Desa, “Bapak Ibu ndak
perlu khawatir, mereka sedang melakukan ritual pengusir hujan.” kata beliau,
tahu bahwa anak-anak bosan di rumah terus. Risa kecil berhenti bergumam dan
tersenyum pada Mbah Kamil. Beliau balas tersenyum.
Setelah bergumam-gumam seolah bicara
pada roh halus, mereka berdiri, di mulai dari biangnya, Udin, teman Risa yang
paling badung di sekolah. Ia mulai menari-nari mengilingi mereka yang masih
duduk. Akhirnya, semuanya ikut berdiri lalu menari-nari membentuk lingkaran
sambil bernyanyi-nyanyi dengan nada yang tidak teratur, belum lagi yang
suaranya sumbang. Kacau. Tapi jadi lucu, karena ada mereka yang iseng,
menjahili temannya yang lain, atau pura-pura kesurupan karena ada roh yang
ingin bicara pada mereka. Risa ikut-ikutan menari sambil tertawa-tawa. Ada juga
yang berguling-guling di tanah basah, berpura-pura jadi persembahan secara
paksa namun si persembahan menolak habis-habisan.
Benar saja, keesokan paginya, hujan
berhenti. Anak-anak kampung itu bersorak sorai ketika bangun dan berkata satu
sama lain kalau ritual mereka berhasil. “Lain kali kalau hujan kita melakukan
ritual lagi!” ujar Udin yang tahu kalau mereka akan bosan selama hujan
berlangsung. “Eits, tidak bisa!” ujar Mbah Kamil tiba-tiba. “Kenapa nggak bisa,
Mbah?” tanya Siska, salah seorang dari mereka. “Karena dewa hujan hanya mau
diberi persembahan kalau sedang hujan yang lamaaa sekali, lebih dari dua hari.”
kata Mbah Kamil yang juga tidak ingin anak-anak sakit. Tapi sekali itu, tidak
ada yang terkena penyakit.
Risa dan Dimas segera memesan
makanan. Di luar restoran dalam mall tersebut, ada sebuah toko elektronik
dengan televisi berlayar besar dipajang di etalase toko. Televisi itu
menampilkan sebuah berita mengenai dampak yang diberikan letusan Gunung Merapi.
Tiba-tiba Risa tertegun. “Itu kampungku!”
***
“Kamu yakin mau ke sana?” tanya
Dimas cemas. “Iya, Dim. Aku harus ke sana. Itu kampung halamanku, dan aku nggak
bisa tinggal diam surga kecilku dimakan abu begitu. Setidaknya aku harus
menjenguk kampungku.” kata Risa. Dimas mengerti lalu mengecup kening Risa,
mengharapkan keselamatan buat dirinya.
Risa naik kereta menuju kampung
halamannya. Rasa penasaran, cemas, dan gembira karena akan bertemu dunia masa
kecilnya sekali lagi bercampur jadi satu, bergolak dalam adrenalin Risa. Ketika
sampai di sana, Risa disambut oleh beberapa petugas berseragam yang mengaku
sebagai sukarelawan. Mereka senang Risa mau bergabung dan ia langsung berangkat
ke kampung halamannya bersama dengan sukarelawan lain yang juga hendak ke sana
dengan mobil jip hijau.
Risa tiba di kampung halamannya tak
lama kemudian. Rasa sesak menyelimuti dadanya. Teringat kembali semua cerita
dan kenangan masa kecilnya, sawah dan ladang luas, jalan tanah, pasar, tempat
bermain, gubuk-gubuk. Sekarang semuanya dilalap abu dan debu, yang ada hanya
materi abu-abu keputih-putihan yang mewarnai kampungnya yang dulu terasa begitu
cerah. Beberapa orang duduk dekat rumah mereka yang sudah hancur.
Risa menghampiri seorang lelaki yang
sedang menghibur seorang gadis. “Permisi, pak. Maaf mengganggu, saya Risa,”
ujar Risa, berharap bapak itu mengenali dirinya karena dilihatnya, bapak itu
tidak terlalu jauh usianya dengannya. “Risa? Risa Cahya Anggraeni?” tanya bapak
itu. Risa mengangguk ceria. “Ya Tuhan, Risa? Ini aku, Udin! Udin Joko! Masih
ingat?” tanya bapak itu. Risa mengangguk gembira, sebuah bendungan langsung
tercipta di pelupuk matanya.
“Gimana
keadaan kampung setelah kita lulus?” tanya Risa sambil duduk di sebelah Udin.
“Gimana ya, biasa aja. Nggak terlalu berubah. Orang-orang pintar seperti kamu
dan Awan dan yang lain langsung pergi. Tinggal kita yang tersisa di sini
ngurusin sawah bapak.” kata Udin. “Gimana guru-guru di sekolah kita?” tanya
Risa. “Sebelum bencana ini, mereka baik-baik aja. Tapi sekarang aku nggak tahu,
Ris.” kata Udin dengan raut wajah sedih.
Tiba-tiba
dari sudut matanya, Risa melihat sesosok tubuh kurus yang selalu diingatnya.
Pria tua itu duduk di reruntuhan masjid dan seorang relawan tampak sedang
membereskan kotak obat di sebelah bapak itu. “Sebentar ya, Din. Kamu ke sana
dulu aja, ke tempat relawan itu, mereka akan bantu kamu.” ujar Risa lalu pergi
menuju lelaki tua itu.
“Mbah
Kamil? Ini Risa.” ujar Risa, takut Mbah Kamil melupakan dirinya. Mbah Kamil
terkekeh, mempertontonkan giginya yang hilang semua, tanda bahwa beliau masih
ingat dengan Risa, anak kesayangannya. Setitik air mata langsung jatuh seiring
dengan hati Risa yang terasa makin sesak. Ia mencium tangan Mbah Kamil lalu
duduk di sebelah Mbah Kamil yang hanya diam memandangi Risa.
“Mbah,
Risa kangen sekali dengan kampung halaman Risa. Risa sendiri nggak nyangka akan
melihat kampung halaman Risa sekali lagi. Sayang, dengan keadaan yang seperti
ini.” kata Risa. “Ya, mbah juga kangen dengan celoteh anak-anak, terutama Risa.
Sekarang sudah ada televisi. Sudah tidak ada lagi tarian pengusir hujan.” kata
Mbah Kamil sambil terkekeh. Pipi Risa memerah.
“Mbah
udah seperti orang tua Risa sendiri.” kata Risa. “Ya. Dan Mbah bangga dengan
Risa yang sudah berhasil ke Jakarta, berhasil dapat beasiswa. Mbah dengar di
acara televisi, kamu masuk nominasi apa terbaik, Mbah ndak tahu bahasa
Inggris.” kata Mbah Kamil sambil terkekeh. Risa mengulum senyum. “Iya, Mbah.”
ujarnya.
“Risa,
pesan Mbah terakhir, tolong jaga kampung halaman kita. Mbah ndak perlu ngasih
pesan supaya Risa dan generasi Risa bisa memajukan Endonesia, pasti bisa.” kata
Mbah Kamil disambut tawa Risa. Ia memeluk sosok yang perkasa itu, seorang tua
yang perhatian, menjadi kakek, guru, sekaligus sahabat Risa kecil.
“Mbah
tinggal dulu ya.” kata Mbah Kamil sambil berdiri. Risa ikut berdiri. “Mbah,
Risa sayang dengan Mbah, terutama karena Mbah sudah jadi segalanya untuk Risa.” kata Risa sambil mencium tangan Mbah Kamil sekali lagi. Mbah Kamil
tersenyum dan mengacak-acak rambut Risa seolah Risa masih berumur
sepuluh tahun.
Mereka
berjalan bersama menuju tempat para relawan membereskan obat mereka dan
beberapa lembar kertas serta buku-buku catatan. Mbah Kamil tersenyum dan Risa
balas tersenyum. Mbah Kamil berbelok, menurut pandangan Risa, beliau hendak
pergi mengambil minum dari seorang relawan. Jadi, Risa kembali pada Udin yang
sudah selesai ditanya-tanyai oleh seorang petugas. Tampak ia sedang menekuk
muka.
“Kenapa,
Din?” tanya Risa. “Keluargaku belum ketemu.” ujarnya. “Mbah Kamil gimana
setelah aku pergi?” tanya Risa penasaran. “Mbah Kamil? Udah meninggal sejak
kamu pergi!” jawab Udin sekenanya.
Sekarang
giliran Risa yang menekuk muka.